Penulis : Aziz S.E – Pemuda Kecamatan Taopa (Pjs Ketua Wilayah LMND Sulawesi Tengah)
KANALKATA.COM,KOTA PALU – 10 Mei 2025 Terhitung sampai dengan saat ini, aktivitas tambang ilegal yang terus beroperasi di hulu Sungai Kecamatan Taopa, Kabupaten Parigi Moutong, kembali menegaskan bahwa perampasan sumber daya alam masih menjadi luka terbuka yang tak kunjung sembuh di negeri ini. Aktivitas tambang yang berlangsung tanpa izin resmi itu telah membawa kerusakan masif terhadap lingkungan, terutama mengancam kelestarian sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di Kecamatan Taopa.
Tambang ilegal ini bukan hanya sekadar masalah hukum atau pelanggaran administratif semata. Ada rantai panjang kepentingan yang melibatkan para pemilik modal—baik dari dalam maupun luar wilayah Kabupaten Parigi Moutong—yang dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik eksploitasi kekayaan alam demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Di balik tambang ilegal ini, kita melihat pola berulang: pembiaran terhadap aktivitas PETI (Pertambangan Tanpa Izin), serta adanya perlindungan terselubung dari oknum aparat dan pejabat yang seharusnya bertugas menjaga lingkungan dan keselamatan rakyat.
Sungguh ironi ketika mereka yang memiliki modal justru menjadi penguasa atas segala aspek kehidupan, semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu dan kelompoknya. Dalam upaya mengejar keuntungan, mereka abai terhadap kenyataan bahwa tindakan tersebut membawa dampak buruk yang luas bagi masyarakat sekitar. Lebih dari itu, kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan saat ini, tetapi juga akan diwariskan kepada generasi mendatang. Situasi ini mencerminkan betapa keserakahan segelintir orang telah menempatkan kepentingan ekonomi di atas keberlanjutan hidup dan kelestarian lingkungan.
Warga lokal yang hidup bergantung pada sungai dan lahan di sekitarnya kini menghadapi kerugian nyata. Mereka mengalami krisis air bersih, rusaknya lahan pertanian, hingga terancamnya kesehatan akibat pencemaran lingkungan. Di sisi lain, lingkungan hidup sendiri mengalami kerusakan ekosistem secara sistematis, dengan dampak yang akan terus terasa hingga generasi mendatang.
Yang lebih mengkhawatirkan, negara terlihat abai terhadap amanat konstitusi. Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya: kekayaan alam dieksploitasi oleh segelintir pihak, sementara rakyat sekitar hanya menerima dampak negatifnya. Konstitusi seakan hanya menjadi hiasan, bukan pegangan dalam penyusunan kebijakan dan pengawasan sumber daya alam.
Situasi ini menunjukkan wajah nyata ketidakadilan struktural: yang kuat terus mengeruk, yang lemah terus dikorbankan. Negara—dalam hal ini pemerintah daerah maupun provinsi—memperlihatkan kegagalan mereka dalam menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi rakyat dan lingkungan hidup. Masa depan yang adil hanya akan tercapai jika keberpihakan terhadap rakyat dikedepankan, bukan pada pemilik modal.***